Pada kenal kan sama yang namanya novel Siti Noerbaya???
Itu tuh.. tentang cewe yang dikawin paksa
Nah, ini ade sedikit info tentang drama versionnya,
dibaca ye.... (ga penting amat sih gue!)
Rabu, 28 Mei 2008
Drama Siti Noerbaya Dipentaskan di ICN
Diposting oleh muatan lokal di 23.10 0 komentar
Film juga Seni??
Ini merupakan salah satu jenis film komedi romantis yang dipromosikan di kompas...
Drama Tak Romantis
Ini kisah tentang Max Skinner (Russel Crowe), seorang pialang saham yang bermukim di London, Inggris. Ia licin dan licik dalam menjalankan strategi jual-beli saham. Gejolak harga saham berikut ritme kerja serba cepat menjadikan pribadi Max tak peduli, kurang hangat, dan egois.Tapi berita kematian pamannya, Henry Skinner (Albert Finley), menjadi awal yang mengubah kehidupannya. Berita itu menerbangkannya dari London yang dingin dan kaku ke negeri dengan kehangatan dan cinta: Provence di bagian tenggara Prancis.Max sosok yang materialistis. Melalui pengacaranya, ia mau menjual kebun anggur milik sang paman di Luberon, Provence. Tapi pertemuannya dengan seorang gadis bernama Fanny Chenal (Marion Cotillard) di sana kemudian mengubah dirinya. Ia menjadi seorang hangat dan penuh cinta.Cerita di atas adalah cuplikan film A Good Year yang akan diputar di bioskop-bioskop Cineplex 21 di Indonesia. Kisah ini diangkat dari novel laris Peter Mayle pada 2004. Ini adalah film drama komedi romantis. Sayang, sisi romantisnya kurang kuat.Versi masyarakat Inggris, pemasangan Russel Crowe dalam film ini tidak pas. Selain itu, di Prancis kisah ini dianggap klise. Terbukti, film A Good Year merugi US$ 20 juta dari biaya US$ 35 juta. Film ini hanya reuni Russel Crowe dan Ridley Scott setelah Gladiator.Crowe pemain dalam Gladiator (2000), sedangkan Scott adalah sutradaranya. Selain Gladiator, Scott pernah menyutradarai film-film lain, antara lain Kingdom of Heaven (2005) dan Black Hawk Down (2001). Sayang, A Good Year tak sebagus film-film Scott tersebut.Kelebihan film ini terletak pada gambar-gambar yang indah: sebuah kebun anggur seluas 11 hektare di Luberon. Ini hasil bidikan direktur fotografinya, Phillipe Le Sourd, yang namanya menjadi nomine sinematografi terbaik dalam Satellite Award 2006.
Judul : A Good Year
Cerita : Marc Klein dan Peter Mayle (novel)S
utradara: Ridley Scott
Pemain : Russel Crowe, Archie Punjabi, Freddie Highmore, Albert Finley
Jenis : Komedi dan drama romantis
Produksi : Fox 2000 Picture
Diposting oleh muatan lokal di 23.02 0 komentar
Teater Salah Satu Jenis Seni
Inilah salah satu tokoh teater Indonesia ~W.S.Rendra~ :
Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah
Masa Kecil
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu.
Pendidikan
Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo.
Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Rendra sebagai Sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
“Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Bengkel Teater
Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika kembali lagi ke Indonesia (1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.
Penelitian tentang Karya Rendra
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.
Penghargaan
Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Kontroversi Pernikahan, Masuk Islam dan Julukan Burung Merak
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.
Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati
Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti tak lama kemudian.
Beberapa karya
Drama
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
SEKDA (1977)
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
Kasidah Barzanji
Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis: "La Guerre de Troie n'aura pas lieu")
Sajak/Puisi
Jangan Takut Ibu
Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Empat Kumpulan Sajak
Rick dari Corona
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!
Nyanyian Angsa
Pesan Pencopet kepada Pacarnya
Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
Perjuangan Suku Naga
Blues untuk Bonnie
Pamphleten van een Dichter
State of Emergency
Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
Mencari Bapak
Rumpun Alang-alang
Surat Cinta
Sajak Rajawali
Sajak Seonggok Jagung
Diposting oleh muatan lokal di 22.38 0 komentar
Pameran Seni Lukis 'Sketch of Jogja'
Karya Mulyo Gunarso
16 November - 16 Desember 2007
Museum Lounge, Yogyakarta Grand Mercure Hotel
Jalan Jendral Sudirman No 9, Yogyakarta 55233
Penyelenggara: Jogja Gallery, Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara
Yogyakarta
Bertempat di Museum Lounge, Yogyakarta Grand Mercure Hotel; Jogja Gallery [JG] mempresentasikan karya-karya sketsa goresan perupa muda Mulyo Gunarso [lahir di Kediri, 1979]. Mulyo menempuh studinya di Fakultas Seni Rupa [FSR], Institut Seni Indonesia [ISI], Yogyakarta dalam kurun waktu 2001 - 2006. Mulyo Gunarso dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Kesederhanaan personality-nya tersebut toh pada akhirnya tergambar pula di 20 karya sketsa yang bisa dinikmati bersama arsitektur khas Yogyakarta Grand Mercure Hotel kali ini. Pada kesempatan presentasi kali ini, Mulyo banyak menampilkan dominasi warna sephia monokrom. Dengan teknik cat air di atas kertas, Mulyo mampu menggambarkan suasana familiar sudut-sudut kota di Yogyakarta, seperti Alun-alun Selatan, Tamansari, suasana pasar, sudut-sudut arsitektur Yogyakarta Grand Mercure sendiri hingga Candi Prambanan dan Borobudur tak ketinggalan turut ditorehkannya. Tak mengherankan memang, dalam deretan prestasinya, Mulyo Gunarso mendapat penghargaan di tahun 2002 sebagai sketsa terbaik dan seni lukis cat air terbaik dari perguruan tinggi yang diampunya. Selamat menikmati presentasi kali ini.
Tentang Jogja Gallery
Jogja Gallery [JG], sebagai 'Gerbang Budaya Bangsa' berdiri di Yogyakarta, 19 September 2006. Diresmikan penggunaannya oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta [DIY], Sri Sultan Hamengku Buwono X. Bertempat di 0 (nol) kilometer atau Alun-alun Utara, berada di kawasan heritage, pusat kota Yogyakarta, menempati bekas gedung bioskop Soboharsono (berdiri 1929) yang telah berfungsi sejak jaman penjajahan Belanda. Jogja Gallery sebagai galeri seni visual yang didirikan oleh PT Jogja Tamtama Budaya, bekerja sama dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (selaku pemilik tanah dan bangunan) membawa peran penting yaitu sebagai media pertemuan antara pekerja seni dengan masyarakat luas. Program pelayanan publik yang telah dirancang antara lain pameran berkala, kerja sama non pameran, friends of Jogja Gallery, perpustakaan, art award forum, lelang karya seni, art shop, kafe dan restoran.
Diposting oleh muatan lokal di 22.09 0 komentar